Pemerintah Hindia Belanda dengan politik tanam paksanya membawa kehidupan rakyat Tegal semakin menyedihkan. Tanah-tanah rakyat banyak tergadai/terjual kepada etnis Cina ataupun Arab. Di desa Tegalsari(sekitar jalan Panjaitan, Teri, Gurami dan Udang, th 2015) terbentuk perkampungan Cina. Orang-orang Arab banyak bermukim di desa Mintaragen, Pekauman dan Kraton. Orang-orang Belanda menghuni sekitar Pelabuhan (Pusat Pemerintahan Gewest, jalan Letjen Haryono, jalan Gajah Mada, jalan Mayjen Sutoyo, th 2015).
Pribumi terdesak ke pedalaman. Pribumi petani sebagai produsen hasil bumi mulai menyempit tanahnya bahkan sebagian ada yang telah menjadi buruh tani. Sebagian kecil saja yang dapat bertahan, namun tak berkembang. Tidak mengherankan perang Diponegoro tahun 1825-1830 dibantu rakyat sepenuhnya.
Bupati Tegal Reksonegoro VI tidak dapat berkutik menghadap politik Belanda sehingga akhirnya membantu Belanda, karena pada saat itu seorang Bupati digaji oleh pemerintahan Belanda dan mendapatkan premi ketika hasil tanaman rakyat baik. Pada saat itu tengah berkecamuk perang Diponegoro sehingga pemerintah Belanda melalui tanam paksa menguras keuntungan yang besar untuk membiayai perang.
Perang Diponegoro bisa dipadamkan melalui siasat benteng stelsel. Johanes Graff van den Bosch pengganti Van der Capellen mengeluarkan peraturan Tanam Paksa (Culture Stelsel). Hal ini dimaksudkan untuk menanggulangi akibat perang Diponegoro. Peraturan tanam paksa yang sangat memberatkan rakyat antara lain :
1/5 dari tanah milik rakyat harus ditanami tanaman yang ditentukan, terutama kopi dan Tebu. Hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah Belanda.
Bagi yang tidak memiliki tanah harus menyediakan tenaga 1/5 dari sepekan (sepekan = 5 hari) dengan upah yang tidak memadai.
Di Tegal diberlakukan Tanam Paksa Tebu didasarkan pada Undang-Undang Gula (suiker wet) untuk memenuhi pasokan tebu ke pabrik gula Pangkah, Banjaratma dan Jatibarang. Tanam paksa tebu membawa akibat kesengsaraan rakyat Tegal, rakyat banyak yang kelaparan karena sawah-sawah mereka tidak ditanami padi. Latar belakang dilaksanakannya tanam paksa ini adalah Kas Negara Belanda kosong akibat perang melawan rakyat negeri jajahan (di Pulau Jawa Perang Diponegoro) dan di Eropa menghadapi Belgia dan Perancis.
Politik tanam paksa ternyata mengundang kritikan bukan saja di Jawa tetapi di negeri Belanda pun tekanan begitu kuat dari golongan liberal. Douwes Dekker mengkritik lewat bukunya yang berjudul Max Havelaar dan Frans van Der Putte dalam karyanya Suiker Contracten (Kontrak Gula). Parlemen Belanda pun mengecam Tanam Paksa, seperti yang disuarakan oleh Baron van Hoevel. Karena banyknya tekanan terhadap politik Tanam Paksa, akhirnya pada tahun 1870 dihapus setelah 40 tahun mendera negeri nusantara.
Tanaman kopi ditanam di sekitar Bumijawa dan di sana dibangun gudang kopi. Di pelabuhan Tegal pun dibangun gudang kopi (lokasi di tikungan jalan Ternate dan RE Martadinata, th 2015) dan gudang gula (lokasi di jalan Kalimantan, th 2015).
Untuk mengolah tebu menjadi gula, didirikanlah pabrik-pabrik gula di Pagongan, Kemantran, Dukuhringin, Pangkah, Balapulang dan Ujungrusi.
Sumber : Tegal Stad – Evolusi Sebuah Kota, Yono Daryono dkk.
Share This Article :